Jumat, 08 Maret 2013


MAKALAH PENGANTAR BIOTEKNOLOGI
NYAMUK TRANSGENIK
HERIYANTO  (091404001)
M. IRFAN  (091404013)
PEND. BIOLOGI A 2009



JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012
Nyamuk Transgenik
A.    Nyamuk, Agen Penyebab DBD dan Malaria
Dua kasus terkait dengan nyamuk, yaitu Demam berdarah dengue (DBD) dan Malaria menjadi perhatian serius masyarakat dunia. DBD adalah wabah musiman yang secara berkala menebar ancaman di seluruh wilayah tropis di dunia, terutama di daerah perkotaan. Sekitar 50-100 juta kasus DBD dilaporkan setiap tahunnya di seluruh dunia. Di Indonesia pada 2010 lalu, DBD memakan korban lebih dari 1.300 nyawa, selain menimbulkan biaya perawatan kesehatan yang sangat besar.
Sedangkan malaria setiap tahunnya menyebabkan 300 juta orang terjangkit dan sekitar sejuta orang di seluruh dunia meninggal akibat penyakit itu. Sejumlah 90% kasus terjadi di Afrika sub Sahara, di mana seorang anak meninggal akibat malaria setiap 30 detik. Di Indonesia, secara statistik jumlah penderita malaria tidak terlalu banyak dibandingkan dengan negara-negara Afrika, meskipun jumlahnya masih cukup besar. Jumlah pasien malaria tahun 2011 tercatat sebanyak 256.592 orang dengan jumlah kematian 388 orang, menurun dari 2010 yang berjumlah 432 kematian.
Hingga saat ini, tidak ada vaksin atau pengobatan khusus untuk DBD. Perawatan medis terutama dilakukan dengan mengelola demam dan memastikan kecukupan cairan tubuh, untuk mencegah komplikasi mematikan. Satu-satunya cara untuk mencegah penyakit ini adalah dengan mengontrol perkembangan nyamuk pembawa virusnya, yaitu Aedes aegypti, melalui pembersihan lingkungan dan penerapan insektisida (fogging, bubuk larvisida).
Usaha untuk penanggulangan penyakit malaria juga belum menunjukkan hal yang menggembirakan. Usaha yang dilakukan diantaranya adalah menggunakan pestisida pada kelambu, menangkap nyamuk dengan net dan kemudian membunuhnya dengan cara membakar. Penggunaan pestisida bisa menyebabkan munculnya nyamuk yang resisten terhadap pestisida, sehingga tidak memungkinkan penggunaan pestisida yang sama untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan obat anti-malaria yang kebanyakan tidak efektif karena parasit menunjukan resistensi yang cepat terhadap obat-obat tersebut, apalagi obat yang dipakai hanya satu jenis. Usaha lain adalah pengembangan vaksin untuk pencegahan juga dilakukan, namun sampai saat ini belum ada vaksin yang bisa digunakan.
Dewasa ini tehnologi rekayasa genetik dilirik untuk mengatasi permasalahan DBD dan malaria. Para ilmuwan mencoba menciptakan nyamuk transgenik yang akan diintroduksi/dilepaskan ke dalam lingkungan. Nyamuk dibuat sedemikian rupa sehingga nyamuk menjadi tahan terhadap parasit Plasmodium atau membunuh parasit tersebut di dalam tubuhnya. Teknologi ini lebih dimungkinkan lagi karena seluruh genom dari nyamuk A. gambiae dan parasit P. falciparum baru-baru ini berhasil dibaca (Nature 3/10/2002 dan Science 4/10/2002).
Nyamuk Transgenik untuk Penanggulangan DBD. Nyamuk transgenik Aedes aegypti  jantan dikembangkan para ilmuwan di bawah bendera Oxitec, lembaga penelitian yang didirikan Universitas Oxford. Harapannya adalah Nyamuk-nyamuk transgenik jantan yang dilepaskan akan mencari dan mengawini betina A. aegypti di alam liar, bersaing dengan para pejantan alami. Ketika nyamuk jantan transgenik kawin dengan betina liar, keturunannya akan melalui tahap larva (jentik), tetapi mati sebagai kepompong sebelum mencapai dewasa. Dengan berulang-ulang melepaskan pejantan transgenik, maka populasi nyamuk pembawa virus ini akan berkurang hingga di bawah tingkat minimum yang diperlukan untuk mendukung penyebaran DBD. Metode ini dianggap sebagai alternatif insektisida yang lebih aman karena nyamuk jantan tidak menggigit atau menyebarkan penyakit, dan hanya kawin dengan betina dari spesies yang sama.
B.     Nyamuk Transgenik untuk Penanggulangan Malaria.
Penanggulangan Malaria dengan Nyamuk Transgenik adalah dengan cara introduksi/menyebarkan nyamuk transgenik ke alam bebas. Mereka berharap nyamuk baru ini akan dapat berkembangbiak dan mengalahkan nyamuk pembawa penyakit. Nyamuk itu membawa gen yang dapat menangkis infeksi dari parasit malaria.
Rincian penelitian oleh satu tim di Amerika Serikat ini diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS). Di laboratorium, nyamuk transgenik dan nyamuk biasa dibiarkan menggigit tikus yang terinfeksi malaria. Sewaktu nyamuk-nyamuk tersebut berkembang biak, jumlah nyamuk transgenik yang dapat bertahan hidup lebih banyak dari nyamuk pembawa penyakit. Setelah sembilan generasi, 70% nyamuk yang ada adalah nyamuk yang kebal terhadap malaria.
Para ilmuwan juga memasukkan gen GFP (green fluorescent protein atau protein berpendar hijau) ke nyamuk transgenik sehingga mata nyamuk berpendar warna hijau. Ini akan memudahkan para peneliti menghitung jumlah nyamuk transgenik dan membedakannya dari nyamuk biasa.
Para peneliti menyimpulkan bahwa hasil ini memiliki implikasi penting bagi implementasi pengendalian malaria dengan cara modifikasi gen nyamuk. Nyamuk transgenik yang memiliki kemampuan mengacaukan pertumbuhan parasit malaria akan membuat organisme sulit berkembang setelah dimusnahkan dari satu daerah. Tetapi penelitian itu memiliki tantangan besar, menyebarkan gen itu dari seekor nyamuk hasil rekayasa genetika ke semua nyamuk di seluruh dunia bukanlah pekerjaan ringan. Kalau gen itu tidak memberikan keuntungan bagi nyamuk tersebut, gen tersebut akan hilang.
Nyamuk transgenik secara genetik direkayasa untuk memasukkan dua sifat baru, yaitu: fluoresensi dan lethality bersyarat. Sifat fluoresensi bertindak sebagai penanda bagi nyamuk transgenik. Ketika nyamuk laki-laki transgenik kawin dengan nyamuk betina di alam bebas, sifat lethality bersyarat akan diteruskan kepada keturunannya dan larva nyamuk yang dihasilkan akan mati.
C.    Hasil Penelitian Para Ahli/Ilmuwan
Seperti yang dilaporkan oleh grup yang dikepalai oleh Marcelo Jacobs-Lorena dari Case Wesrtern Reserve University, Amerika Serikat, mereka berhasil membuat nyamuk transgenik Anopheles stephensi, dimana di dalam usus nyamuk dimasukan gen dari peptida SM1 yang berfungsi membunuh nyamuk (Nature 23/5/2002). Dari hasil percobaan ditemukan bahwa gen yang dimasukkan stabil dan menghasilkan peptide SM1. Dan nyamuk transgenik ini mampu menekan pertumbuhan parasit P. berghei, parasit yang menyebabkan malaria pada tikus, sampai 94%.
Andrea Crisanti dan koleganya dari Imperial College London, Inggris juga membuat Anopheles stephensi transgenik dengan mamasukan gen dari elemen Minos (elemen yang bisa dipindahkan atau transposable element yang berasal dari lalat Drosphila hydei) ke dalam gen A. stephensi dengan menggunakan gen loncat (jumping gen) transposon (Science 21/2/2003 dan Nature 22/6/2000). Namun mereka baru menyelidiki kestabilan gen Minos yang dipindahkan dan efek pemindahan tersebut terhadap kehidupan nyamuk transgenik.
Selain itu, M. Q. Benedict dkk dari Centers for Disease Control and Preventation (CDC), Amerika Serikat, telah membuat A. gambiae transgenik dengan mamasukan gen dari transposable element piggyBac (elemen yang diisolasi dari sel serangga Trichoplusia ni) ke dalam gen A. gambiae dengan menggunakan transposon (Insect Molecular Biology no.10, 2001). Tetapi mereka juga baru pada tahap pengujian kestabilan gen yang dimasukan.
Penelitian nyamuk transgenik untuk pengontrolan malaria ini masih baru. Penelitian ini baru dimulai sejak tahun 2000, walaupun idenya sudah ada sejak 30 tahun yang lalu. Walaupun demikian, cara ini cukup memberikan harapan karena seperti yang dibuktikan oleh Marcelo Jacobs-Lorena dkk, mereka telah berhasil menciptakan A. stephensi yang bisa membunuh P. berghei.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar